Sejarah Jenang Kudus, Tradisi yang Tak Lekang oleh Waktu

Jenang dari Kudus

Kalau kamu berkunjung ke Kota Kudus, rasanya belum lengkap kalau belum membawa pulang jenang Kudus. 

Kudus memang dikenal sebagai kota kecil yang sarat sejarah dan budaya, tapi dari sekian banyak ciri khasnya, jenang menjadi salah satu ikon kuliner yang paling melekat di hati masyarakat. 

Dari dulu sampai sekarang, jenang bukan sekadar makanan manis, tapi juga simbol kesabaran, ketekunan, dan warisan tradisi yang terus hidup di tengah perubahan zaman.

Kudus dan Kekayaan Tradisinya

Kudus, yang terletak di Jawa Tengah, sering disebut sebagai “Kota Santri” karena jejak dakwah Sunan Kudus yang sangat kental di kota ini. 

Selain menjadi tempat lahirnya berbagai tradisi keagamaan dan budaya, Kudus juga terkenal dengan hasil kerajinannya, peninggalan sejarah, serta kuliner khas yang unik. Salah satu yang paling legendaris tentu saja jenang Kudus, oleh-oleh manis yang wajib dibawa pulang setiap kali berkunjung ke kota ini.

Sejarah Panjang Jenang Kudus

Sejarah jenang di Kudus sudah ada sejak masa Sunan Kudus pada abad ke-16. Menurut cerita, jenang dibuat sebagai bentuk rasa syukur dan sedekah kepada masyarakat setiap kali panen raya tiba atau menjelang peringatan hari-hari besar keagamaan. 

Jenang dianggap sebagai simbol ketulusan dan kebersamaan, karena dalam proses pembuatannya biasanya melibatkan banyak orang.

Dulu, jenang dimasak dalam jumlah besar di kuali tembaga dengan kayu bakar. Wangi karamel dari gula merah yang meleleh bercampur santan, membuat suasana kampung terasa begitu hangat. 

Dari tradisi inilah, jenang kemudian berkembang menjadi kuliner khas yang tidak hanya disajikan dalam acara keagamaan, tapi juga dijual dan dinikmati masyarakat luas.

Baca juga: Menjelajahi Kuliner Kudus dari Jenang hingga Soto Kudus

Jenang Mubarok, Legenda dari Kudus

Jenang Kudus

Kalau bicara tentang jenang Kudus, nama Jenang Mubarok pasti sudah tidak asing lagi. Inilah merek jenang paling legendaris yang berdiri sejak tahun 1930-an. Pendirinya, H. Mubarok, memulai usahanya dari dapur rumah sederhana di Desa Kaliputu, Kudus. Dari generasi ke generasi, jenang ini terus diproduksi dengan resep turun-temurun tanpa mengubah cita rasa aslinya.

Ciri khas Jenang Mubarok terletak pada teksturnya yang kenyal namun lembut, serta rasa manis gurih yang seimbang. Jenisnya pun beragam, mulai dari jenang original, rasa wijen, kacang, hingga rasa durian dan pandan yang lebih modern. 

Tak heran jika merek ini menjadi ikon oleh-oleh khas Kudus yang dikenal hingga ke luar negeri.

Selain Jenang Mubarok, kini juga bermunculan banyak produsen jenang lain di Kudus seperti Jenang Sinar Tiga, Jenang Kudus Subur, hingga berbagai UMKM lokal yang ikut melestarikan cita rasa khas kota ini. Masing-masing membawa sentuhan khasnya sendiri, tapi tetap mempertahankan esensi rasa jenang yang asli.

Filosofi di Balik Jenang

Masyarakat Kudus percaya bahwa jenang mengandung makna mendalam. Proses pembuatannya yang memakan waktu lama dan membutuhkan kesabaran melambangkan ketekunan dalam hidup. Setiap adukan jenang mencerminkan kerja keras dan kebersamaan, karena biasanya pembuatan jenang dilakukan secara gotong royong.

Selain itu, warna coklat keemasan dari jenang juga dianggap simbol kehangatan dan rasa syukur. Tak heran jika makanan ini sering dijadikan hidangan dalam acara syukuran, selamatan, atau upacara adat. Dalam budaya Kudus, jenang bukan sekadar makanan manis, tapi juga bagian dari doa dan harapan yang dituangkan dalam rasa.

Baca juga: Menyusuri Jejak Sejarah Rokok Kretek di Museum Kretek Kudus

Perbedaan Jenang dan Dodol

Perbedaan Jenang dan Dodol

Banyak yang mengira kalau jenang dan dodol itu sama, padahal keduanya serupa tapi tak sama. Jenang merupakan kuliner khas Kudus, Jawa Tengah, sementara dodol lebih dikenal di Garut, Jawa Barat. 

Keduanya dibuat dari tepung ketan, santan, dan gula merah, namun perbandingan bahan dan cara memasaknya membuat tekstur serta rasanya berbeda.

Jenang biasanya dimasak dengan proporsi santan yang lebih banyak dan waktu pemasakan yang lebih singkat, menghasilkan tekstur yang lebih lembut, agak basah, dan tidak terlalu berminyak. 

Sementara itu, dodol dimasak lebih lama hingga minyak santan keluar, sehingga teksturnya lebih liat, padat, dan berminyak, serta memiliki daya tahan yang lebih lama. Dengan kata lain, dodol bisa dianggap sebagai versi kering dan tahan lama dari jenang, sedangkan jenang merupakan versi yang lebih lembut dan segar dari dodol.

Penutup

Jenang Kudus bukan hanya soal rasa manisnya, tapi juga tentang perjalanan panjang budaya, sejarah, dan kearifan lokal masyarakat Kudus. 

Setiap potongan jenang adalah cerita tentang kota kecil yang menjaga tradisinya dengan penuh cinta. Jadi, kalau kamu berkesempatan liburan ke Kudus, jangan lupa membawa pulang jenang Kudus, kebanggaan warga Kudus yang tak lekang oleh waktu.

ttd abira journal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *